Recording pun Butuh TI


Musik yang nikmat didengar telinga ternyata tidak luput dari sentuhan teknologi. Pengaruh dari kecanggihan teknologi ini juga nyata terlihat pada proses pembuatan musik itu sendiri.


Musik, hampir semua kalangan menikmati seni yang satu ini. Tidak hanya anak muda, namun orang tua dan bayi yang masih di dalam kandungan pun sesekali membutuhkan relaksasi dan hiburan dengan mendengarkan seni suara yang satu ini. Tahukah Anda, untuk menghasilkan musik dengan kualitas yang baik dan enak didengar, perlu ilmu yang cukup, sumber daya manusia yang baik dan sentuhan teknologi dengan berbagai perangkat digital yang memadai. Tidak hanya peralatan digital, peralatan Analog pun bisa melakukan hal ini dengan baik yang menghasilkan kualitas yang baik pula. Namun, dengan berkembangnya jaman dan teknologi, segala sesuatu dibuat lebih mudah dan ringkas.
 
Musik dan TI
Bila bicara tentang musik, sekilas seperti tidak ada hubungannya dengan dunia teknologi informasi. Namun kenyataannya, sejak tahun 90-an implementasi TI sudah ada di industri musik dengan adanya proses mastering. Hal ini jelas terlihat dengan peralatan analog yang mulai bertransisi ke digital secara hampir total.

Proses converting musik mentah atau sumber analog ke digital dengan proses buffering, semua itu sudah melibatkan jasa TI secara ke-seluruhan. Jadi, dengan adanya TI ini pada dunia rekaman, sangat membantu untuk memudahkan proses rekaman itu sendiri, tutur Darmawan, yang akrab disapa Wawan, owner sekaligus mastering engineer pada studio KMA Recording di kawasan Daan Mogot, Jakarta Barat. Wawan memilih untuk ke digital karena kini peralatan professional recording sudah menjadi ringkas. Untuk bicara kualitas, source analog memang masih lebih baik dengan source digital. “Walaupun tipis bedanya, namun untuk orang yang sudah biasa mendengarkan komposisi musik secara keseluruhan, bedanya pasti terasa,” jelas Wawan.

Digital Recording
Untungnya, kini sudah serba digital. Ini berarti semakin ringkas alat-alat untuk bisa menghasilkan studio recording, dan semakin mudah untuk merawat dan memaintain-nya. Di studio Wawan sendiri, dengan bantuan satu unit PC standar yang dilengkapi dengan memory RAM 1 GB, sound card dengan cap MOTU, disambungkan dengan peralatan penunjang lainnya (baca: tabel Equipment KMA), usahanya sudah lancar berjalan. Yang dibutuhkan lebih pada digital recording ini memang harddisk, KMA sendiri mempunyai lebih dari 3 Terrabyte media penyimpanan yang terbagi-bagi.

Bayangkan, pada masa analog, untuk merekam suara mentah pada saat tracking harus di simpan pada pita 2 inch, yang kini sudah bertransformasi menjadi harddisk yang bentuknya kecil dan tidak menghabiskan tempat (baca boks “Sejarah Teknologi Perekam”). Untuk alat mixer, dengan bantuan PC, mixer virtual bisa mengakomodasi 128 track pada monitor, sedangkan dengan mixer analog, 48 track saja bisa memakan tempat sekitar 2 meter persegi. “Bila bicara kualitas, analog bisa dibilang lebih unggul dari digital. Tapi, dengan digital pun sudah bisa dijadikan standar kok,” ungkap Wawan.

Dengan hadirnya band-band baru yang ingin menumpahkan karya ciptaan mentahnya ke dalam musik untuk dinikmati banyak orang, dibutuhkan jasa studio recording untuk dapat merekam dan melakukan berbagai proses sehingga hasil dari musik tersebut bisa dinikmati banyak orang secara layak. Untuk bisa melakukan hal ini, diperlukan rekaman dengan proses tracking, mixing, dan mastering.

Proses pertama atau tracking dilakukan dengan cara memindahkan sumber suara analog (suara vocal, gitar, drum, dan sebagainya) ke dalam media penyimpanan melalui mikrofon yang hasilnya adalah gelombang suara dalam bentuk data yang siap untuk diolah. Istilah ngetren dalam anak band sendiri nya adalah nge-take.

Proses kedua adalah proses balancing dan mixing suara, yaitu mengurangi noise dan mengatur keseimbangan berbagai suara mentah yang sudah ditake tadi. Di saat inilah suara bias ditambahkan berbagai macam efek. Tidak sabatas efek saja, canggihnya, suara vokal yang tidak in-tone atau fals saja bisa dinaikturunkan dengan proses komputasi oleh software-nya. Pilihan software untuk recording ini ada berbagai macam. Misalnya Nuendo, Protools, Cakewalk, Cubase, dan lain sebagainya. Semuanya baik, tergantung dari penguasaan pengoperasian saja. Proses terakhir adalah mastering yaitu, membuat master dari hasil akhir ke dalam CD atau dalam bentuk data audio untuk diduplikasi. Proses mastering ini di Indonesia sendiri baru di-standardisasi setelah tahun 96-97-an, yang di luar negeri sudah dilakukan sejak lima tahun lebih awal. Di tahun itulah perlahan demi perlahan teknologi TI di industri musik mulai banyak dilibatkan. Bila ketiga proses tadi sudah dilakukan, maka hasil akhir rekaman bisa dijual atau dinikmati untuk komunitas tertentu.

Mencari Jati Diri
Berawal dari bermain band dan sering ikut sang ayah yang bekerja di Billboard recording company di tahun 80-90an, Darmawan yang akrab disapa Wawan, mulai iseng memdokumentasikan hasil karyanya ke dalam PC rakitan biasa untuk dinikmati sendiri pada masa SMA dengan membuat home recording kecil-kecilan dalam kamarnya.

“Sebenarnya untuk bisa menjadikan usaha home recording untuk iseng-iseng saja, PC dengan spesifikasi middle sudah mampu menjalankannya,” ujar Wawan. Dengan bekal PC yang mempunyai soundcard, kabel jack, media penyimpanan (harddisk) dan software untuk merekam, home recording sudah bisa dilakukan. Namun biasanya, home recording memang hanya bisa dinikmati sendiri.

Awalnya musik memang hanya sekadar hobi baginya. Namun, obsesi untuk bisa menghasilkan karya yang baik memang selalu menjadi keinginannya.

Wawan yang menyelesaikan sekolahnya di STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara) ini, berharap menjadi akuntan yang andal bagi bangsa ini dengan bekerja di instansi pemerintahan. Selama beberapa tahun dan tidak menemukan jati dirinya di sana, bapak dari satu orang anak ini merasa jenuh dengan kerja kantoran. Setelah hengkang dari kepegawaian negeri, Wawan berpikir untuk menghidupi dirinya dengan hal yang disukainya dan tidak perlu keluar rumah, dengan membuat studio rekaman. Nikmat memang, mengerjakan suatu pekerjaan yang merupakan hobi, sambil bisa terus berdampingan dengan keluarga. Apalagi usaha untuk investasi, yang mampu menghidupi kebutuhan sehari-hari.

Unlimited Investment
Menurut Wawan, usaha studio recording ini adalah usaha yang tidak masuk akal. Bagaimana tidak, dengan perkembangan alat musik dan teknologi, otomatis minimal per lima tahun harus ada alat yang di-upgrade. Seperti saat ini, dimana teknologi mulai beralih ke era 64-bit, Wawan harus bersiap-siap untuk menghadapi perkembangan era ini. Memang, kadaluarsanya teknologi merupakan momok bagi usaha yang menggunakan jasa kecanggihan teknologi itu sendiri. Namun, hal tersebut tidak menyurutkan niat Wawan untuk meneruskan niatnya.

Menurut survai kecil-kecilan, rata-rata konsumen melihat bagus tidaknya studio adalah dengan kecanggihan alat yang dimiliki. Namun, tidak selamanya teori itu benar. Semua itu tergantung pada bagaimana sebuah studio rekaman mengoptimalkan peralatan yang ada.

Meningkatkan kualitas tidak berarti dengan cara menambah peralatan, adalah pegangan Wawan dalam menjalani bisnisnya ini. Hal kecil seperti kabel yang baik, solderan kabel yang benar, merupakan solusi termurah yang bisa menghasilkan kualitas yang baik. “Kabel merupakan unsur yang penting dalam hasil dan kualitas yang dihasilkan karena kabel merupakan sinyal penghantar inti. Alat yang mahal belum tentu bisa optimal bila kabelnya tidak diperhatikan, di luar pengetahuan SDM yang juga tak kalah pentingnya,” jelas Wawan.

Peralatan yang canggih memang memerlukan uang yang tidak sedikit. Bila ingin mengikuti nafsunya dengan kecanggihan alat-alat dan teknologi yang ada, mungkin modal milyaran pun tak kan pernah cukup.

Namun Wawan yakin, dengan makin maraknya band-band baru yang ingin mendokumentasikan karyanya, serta didukung dengan hasil kualitas yang ditawarkan, usahanya ini dapat terus berjalan. Studio rekaman memang tenarnya lewat mulut ke mulut. Dengan harga yang terjangkau dan hasil yang tidak mengecewakan, tentunya akan membentuk mouth-to-mouth marketing yang sangat powerful bagi studionya.

Tentang KMA
Karena tertarik dengan pekerjaan ayahnya, modal nekad dan berbekal buku Modern Recording Techniques, karya David Miles Huber dan Robert E. Runstein, Wawan mulai serius untuk mendirikan studio recording, jasa tempat band-band baru yang ingin sekadar mendokumentasikan karyanya hingga membuat demo untuk dilempar ke major label besar. KMA Studio, begitu Wawan memberi nama studio rekamannya, memang jauh dari studio rekaman yang mewah. Namun dengan optimalisasi alat yang ada, kualitas yang dihasilkan tidak kalah dengan studio mewah lainnya.

Untuk memulai bisnis ini, Wawan berpikir keras untuk menentukan segmen mana yang akan ditembak untuk menjadi konsumennya. Dengan menentukan segmen menengah, Wawan mempersiapkan kocek kurang lebih sebesar 200 juta untuk membangun studionya di samping rumah tinggal yang dihuninya sekarang. Namun, dengan penghasilan rata-rata perbulan Rp15.000.000 dengan kisaran harga sewa Rp350.000 per shift (6 jam) perlahan demi perlahan, profit pun akan mendatangi Wawan. Untuk memulai suatu usaha memang dibutuhkan modal yang cukup dan keberanian untuk berspekulasi.

Studio ini sendiri baru berdiri sejak Januari 2003. Namun, pelanggannya sudah terhitung ratusan. Tidak sedikit band-band yang sudah menjadi langganan KMA. “Banyak hal baru yang bisa kita dapatkan di KMA. Pendidikan mengenai sound, pengenalan alat, pengoperasian, dan bagaimana cara kita adaptasi dengan keadaan studio beserta isinya benar-benar diterapkan oleh pemiliknya terhadap customer,” testimonial salah satu band yang merintis karir awalnya di sini. Bagi sebagian musisi, studio merupakan rumah kedua. Rasa nyaman dan interaksi dengan para engineer setempat juga merupakan hal yang penting bagi pelanggan.

Audioman Otodidak
Bila banyak engineer yang sekolah music engineering sampai ke negeri seberang, hal ini tidak terjadi pada Wawan. Berbekal pengetahuan yang di dapat dari buku andalannya, mempraktikkan teori buku secara langsung, jam terbang tracking dan mastering yang tinggi, Wawan yang mempunyai empat tracking engineer lainnya ini juga sudah digurukan oleh anak buahnya, yaitu Bocah, Doncil, Alex, dan Eddie. Bila diukur dengan skill, mereka semua andal. Bahkan salah satu dari mereka juga merupakan sound engineer bagi salah satu band yang sudah exist di industri musik indonesia.

Untuk ke depannya, KMA bercita-cita untuk memproduksi band atau musik sendiri yang akan dilahirkan menjadi band ternama. “Dengan produksi band sendiri dan kita menjualnya ke major label, penghasilan pasti lebih banyak. Tapi ini masih rencana saja,” tutur Wawan. Kalau peralatan sudah ada, diimbangi dengan SDM andal, bukan hal yang tidak mungkin untuk membuat suatu perusahaan rekaman sendiri.

SEJARAH TEKNOLOGI PEREKAM
Disadari atau tidak, teknologi yang bisa kita nikmati saat ini tidak luput dari penemuan-penemuan pelopor pada zaman terdahulu. Alat Phonograph yang ditemukan oleh Thomas
Edison pada tahun 1877, merupakan ujung tombak di mana suara sudah bisa direkam ke dalam suatu alat. Dengan tabung silinder (wax cylinder) yang dibungkus oleh material yang halus seperti lilin yang merupakan media untuk dapat merekam suara ke dalam satu media. Untuk melakukan play back, diperlukan alat yang seperti jarum pada Phonograph yang diguratkan pada silinder tadi, dan akan menghasilkan getaran yang secara mekanik akan menghasilkan suara pada corong Phonograph.

Pada tahun 1887, Emile Berliner, mengembangkan Phonograph menjadi Gramophone. Dengan bentuk yang tidak begitu berubah, hanya sistem rekam yang pada terdahulunya secara vertikal, pada saat itu diubah menjadi horizontal, yang membuat kedalaman alur silinder menjadi lebih konstan. Sehingga bentuknya menjadi seperti CD yaitu flat, tidak lagi silinder dan dinamakan gramaphone record/phonograph record.

Lonjakan besar terjadi pada tahun 1924. Dengan Victor Orthophonic phonoautograph, peningkatan kualitas dari proses rekaman yang sudah menggunakan tenaga listrik serta perubahan pada corong yang menghasilkan respons frekuensi yang flat.

Magnetic recording diperkenalkan oleh Valdemar Poulsen dengan menggunakan telegraphone pada tahun 1898. Dengan menggunakan kekuatan magnet, media yang bergerak secara konstan dengan kecepatan yang konstan pula melewati ‘head’ perekam. Sinyal elektrik, yang secara analog menjadi suara yang ingin direkam, melewati head tadi dan menghasilkan pola magnet yang serupa dengan sinyal yang menghasilkan suara yang lebih baik dari teknologi sebelumnya.

Tape recorder mulai dikembangkan di Jerman tahun 1932. Titik awalnya pada saat hari Natal 1932, di mana British Broadcasting Corporation kali pertama Dengan menggunakan kekuatan magnet, media yang bergerak secara konstan dengan kecepatan yang konstan pula melewati ‘head’ perekam. Sinyal elektrik, yang secara analog menjadi suara yang ingin direkam, melewati head tadi dan menghasilkan pola magnet yang serupa dengan sinyal yang menghasilkan suara yang lebih baik dari teknologi sebelumnya.

Tape recorder mulai dikembangkan di Jerman tahun 1932. Titik awalnya pada saat hari Natal 1932, di mana British Broadcasting Corporation kali pertama digunakan para profesional untuk situasi tertentu. Pita yang semakin kecil dengan suara stereo yang sudah baik, membuat para seniman musik sudah dapat melakukan rekaman dengan dukungan alat yang sudah makin ringkas.

Di akhir tahun 1990-an, digital recording sudah mulai menjadi standar industri rekaman. Dan kini, di era milenium, semuanya semakin mudah, ringkas, canggih, dan praktis. Perangai pita rekaman yang tadinya besar bukan main sudah diringkas menjadi harddisk
dan corong phonoautograph disulap menjadi speaker dengan teknologi kinetik yang canggih. Bagaimana perkembangannya 10 atau bahkan 100 tahun ke depan? Biar kecanggihan digital dan teknologi yang menjawabnya.

(Sumber: IT Staf)

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More